Film Green Book (2018) sering kali dirayakan sebagai kisah persahabatan yang mengharukan antara seorang pianis jazz kulit hitam yang elegan, Don Shirley, dan sopir Italia-Amerika-nya yang kasar, Tony “Lip” Vallelonga. Namun, di balik narasi yang menghangatkan hati, film ini menyajikan makna yang jauh lebih dalam tentang prasangka, martabat, dan perubahan sosial. Artikel ini akan menganalisis bagaimana Green Book secara cerdas menampilkan dinamika rasial di Amerika pada era 1960-an dan mengajarkan kita bahwa persahabatan sejati dapat lahir dari kesediaan untuk melihat melampaui perbedaan, merangkul kerentanan, dan berdiri untuk martabat orang lain.
Saat Green Book dirilis, film ini memicu perdebatan sengit. Beberapa kritikus memuji narasi yang optimis, sementara yang lain menuduhnya menyederhanakan isu rasial yang rumit. Namun, terlepas dari kontroversi, film ini tetap berdiri sebagai karya yang kuat, bukan karena ia menawarkan solusi mudah, melainkan karena ia menyajikan pelajaran yang mendalam tentang kemanusiaan.
Dua Dunia yang Bertabrakan
Inti dari film ini adalah kontras yang mencolok antara dua karakter utama: Don Shirley, seorang jenius musik yang terdidik dan anggun, dan Tony “Lip” Vallelonga, seorang pria jalanan dari Bronx yang berprasangka, tetapi memiliki hati yang tulus. Perjalanan mereka melintasi wilayah selatan Amerika yang rasis pada tahun 1960-an adalah sebuah panggung di mana prasangka keduanya diuji dan perlahan-lahan runtuh.
Awalnya, Tony memandang Shirley sebagai “orang aneh” yang terlalu kaku, sementara Shirley memandang Tony sebagai “orang bodoh” yang tidak berkelas. Namun, seiring perjalanan, mereka dipaksa untuk saling bergantung dan melihat sisi lain dari satu sama lain. Tony melihat penderitaan dan penghinaan yang dialami Shirley di setiap kota. Mulai dari tidak diizinkan menggunakan toilet hingga ditolak di tempat yang seharusnya ia tampil, sementara Shirley melihat kesetiaan dan keberanian Tony yang unik.
Makna di Balik Prasangka
Film ini dengan cermat menunjukkan bahwa prasangka bukanlah entitas satu dimensi. Prasangka Tony tidak muncul dari kebencian murni, melainkan dari ketidaktahuan dan pengaruh lingkungan. Ia mencerminkan pandangan masyarakat pada masanya. Namun, Green Book menegaskan bahwa prasangka dapat diatasi melalui pengalaman langsung dan empati.
Salah satu adegan paling kuat adalah ketika Tony diserang oleh polisi karena membela Shirley. Saat Tony membalas, Shirley menghentikannya dan berkata, “Kamu akan mengalahkannya dengan kekerasan, tapi kamu tidak akan pernah memenangkan martabatmu.” Momen ini adalah pencerahan bagi Tony, yang mulai memahami bahwa perlawanan tidak selalu harus dengan kekerasan, melainkan dengan menegakkan martabat.
Martabat dan Harga Diri
Poin terpenting dalam film ini adalah tentang martabat. Don Shirley, dengan segala kejeniusannya, selalu berjuang untuk martabatnya. Ia tidak hanya melawan diskriminasi dari orang asing, tetapi juga dari orang-orang yang seharusnya menghormatinya. Ia sering kali lebih tertekan oleh fakta bahwa ia tidak diizinkan makan di restoran tempat ia tampil daripada ancaman kekerasan fisik. Ini adalah cerminan dari perjuangan orang kulit hitam yang harus berjuang untuk diakui sebagai manusia yang setara.
Di akhir film, Tony mengundang Shirley untuk makan malam Natal bersama keluarganya. Keputusan Tony untuk membawa Shirley ke rumahnya sendiri, di mana ia bisa diperlakukan sebagai anggota keluarga, adalah puncak dari perjalanan mereka. Ini adalah tindakan yang melampaui sopan santun profesional, dan menunjukkan bahwa Tony akhirnya melihat Shirley bukan hanya sebagai majikan, tetapi sebagai seorang teman yang layak untuk diterima sepenuhnya.
Pada akhirnya, Green Book adalah film yang optimis tentang kekuatan persahabatan untuk mengubah prasangka. Ia mengajarkan kita bahwa perubahan sosial tidak hanya terjadi melalui hukum, tetapi juga melalui interaksi personal yang mengubah hati dan pikiran. Ini adalah sebuah pengingat bahwa bahkan di tengah perpecahan, ada harapan untuk saling memahami dan menghormati.

