Home / Movies & Series / Retaknya Peradaban: Pelajaran Mendalam dari Film Leave the World Behind (2023)

Retaknya Peradaban: Pelajaran Mendalam dari Film Leave the World Behind (2023)

Film Leave the World Behind (2023) karya Sam Esmail bukanlah sekadar thriller apokaliptik yang menakutkan, melainkan sebuah cermin gelap yang merefleksikan kerapuhan masyarakat modern. Dengan berlatar belakang serangan siber misterius yang melumpuhkan teknologi, film ini menyajikan pelajaran yang jauh lebih mendalam daripada sekadar bertahan hidup. Artikel ini akan menganalisis tiga pelajaran utama yang bisa kita ambil: bahaya fatal dari ketergantungan teknologi, pentingnya keterampilan bertahan hidup dasar di luar jaringan, dan krisis moral yang terungkap saat tatanan sosial runtuh. Film ini adalah peringatan keras bahwa kenyamanan adalah ilusi dan bahwa ketidakpercayaan adalah racun yang paling berbahaya dalam situasi krisis.


Film Leave the World Behind berhasil menciptakan ketegangan bukan melalui monster atau bencana alam yang jelas, melainkan melalui ketidakpastian dan hilangnya kendali. Keluarga Sanford dan Scott, yang terperangkap bersama di sebuah rumah mewah, harus menghadapi kehancuran peradaban yang dimulai dengan hilangnya sinyal ponsel dan internet. Kekacauan yang terjadi mengungkap tiga pelajaran penting tentang diri kita dan dunia yang kita tinggali.

Bahaya Fatal dari Ketergantungan Teknologi

Pelajaran paling mencolok dari film ini adalah sejauh mana kita telah menyerahkan kendali atas hidup kita kepada teknologi. Ketika internet, GPS, dan komunikasi nirkabel mati, peradaban modern langsung lumpuh.

  • Hilangnya Navigasi dan Arah: Clay Sanford (Ethan Hawke) tidak bisa menemukan jalan pulang tanpa GPS, menunjukkan hilangnya kemampuan navigasi dasar. Teknologi telah membuat banyak orang kehilangan keterampilan penting untuk berfungsi di luar jaringan.
  • Isolasi Total: Karakter-karakter diisolasi sepenuhnya. Mereka tidak bisa menghubungi bantuan, mendapatkan informasi, atau bahkan memastikan apakah keluarga mereka yang lain selamat. Ketergantungan pada jaringan global berarti sekali jaringan itu putus, kita menjadi terisolasi secara total.
  • Kehancuran Infrastruktur: Gangguan siber yang canggih mampu membuat mobil-mobil Tesla menabrak, kapal tanker terdampar, dan menghancurkan seluruh infrastruktur tanpa perlu ledakan fisik. Film ini memperingatkan bahwa titik lemah terbesar peradaban kita adalah konektivitasnya.

Krisis Moral dan Runtuhnya Kepercayaan

Saat keadaan darurat terjadi, film ini menunjukkan betapa cepatnya kepercayaan antarmanusia runtuh. Amanda Sanford (Julia Roberts), sejak awal, menunjukkan sikap rasial dan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap GH Scott (Mahershala Ali) dan putrinya.

  • Pentingnya Empati vs. Kepentingan Diri: Awalnya, fokus utama adalah egoisme dan kepentingan diri. Amanda hanya ingin melindungi keluarganya dan tidak mempercayai George dan Ruth, meskipun mereka adalah korban yang sama. Baru ketika situasi memburuk, mereka dipaksa untuk bekerja sama, menyadari bahwa bertahan hidup membutuhkan kerjasama, bukan permusuhan.
  • Kebenaran vs. Misinformasi: Dalam kekacauan, misinformasi dan rumor menyebar dengan cepat (diwakili oleh selebaran yang dijatuhkan dari udara). Film ini mengajarkan bahwa dalam krisis, informasi yang pasti adalah komoditas yang paling langka, dan kebingungan adalah senjata yang lebih mematikan daripada bom.

Nilai Eskapisme yang Melumpuhkan

Akhir film yang ikonik, Rose (Farrah Mackenzie) menemukan dan menonton episode terakhir serial Friends di bunker adalah komentar tajam tentang eskapisme modern.

  • Prioritas yang Bergeser: Sementara dunia di luar sedang runtuh, prioritas Rose bukanlah mencari orang tuanya, melainkan menyelesaikan serial TV. Ini mencerminkan bagaimana kita sering memprioritaskan hiburan dan pelarian daripada menghadapi realitas atau mempersiapkan diri untuk krisis.
  • Kebutuhan Akan Cerita: Tindakan Rose menemukan Friends juga dapat diartikan sebagai kebutuhan manusia akan kenyamanan narasi dan rutinitas, bahkan di tengah apocalypse. Ini menunjukkan bahwa seni dan cerita menjadi pelarian psikologis terakhir kita saat realitas terlalu brutal untuk dihadapi.

Leave the World Behind adalah pengingat yang mengerikan bahwa kita semua hidup dalam gelembung kenyamanan yang bisa pecah kapan saja. Pelajaran terbesarnya adalah kita harus mulai membangun ketahanan diri di luar sistem dan memulihkan kembali kepercayaan dan empati antar sesama sebelum teknologi membawa kita ke jurang kehancuran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *